Sampai saat ini masih begitu kuingat, pengalaman di tahun 60an, saat-saat
saya masih bersekolah di tingkat dasar, yang nama sekolahnya adalah Madrasah
Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) tepatnya di sebuah desa yang terpencil di
pinggiran sungai bengawan Solo, desa yang diberi nama Gedangan. Kata Gedangan
diambil dari kata dasar gedang,
berasal dari bahasa jawa yang artinya adalah pisang. Kata gedang itu mendapat
akhiran an maka terbentuklah kata Gedangan.
Desa Gedangan memang merupakan desa yang ditumbuhi banyak tanaman pisang.
Di sepanjang pekarangan belakang rumah penduduk sepanjang alur Daerah Aliran
Sungai (DAS) rata-rata merupakan kebun
pisang. Konon nama desa ini diambil dari
banyaknya tanaman pisang yang
mendominasi desa.
Kehidupan di desa ini pada decade 60an memang masih sangat terbelakang.
Desa yang belum terakses penerangan listrik, masyarakat masih menggunakan lampu
teplok, sebagian masyarakat yang
sedikit lebih modern menggunakan lampu strongking
. Jalan-jalan masih berupa tanah liat yang apabila musim hujan keadaan jalannya
menjadi becek dan lengket di kaki, lengket juga di sandal atau bakiyak yang
kita pakai. Belum banyak orang di desa ini yang memakai sepatu kecuali
orang-orang yang pulang dari kota.
Namun dengan pedenya anak-anak
desa pada era tersebut bersekolah dengan banyak yg tak bersepatu alias nyeker.
Setiap kali kami melihat anak-anak yang sudah bersepatu karena telah dibelikan
oleh ayahnya yang pulang dari bekerja di kota Surabaya kami merasa ingin sekali
memilikinya namun apa daya orang tua kami hanya petani yang hidup di desa tak
tahu dimana harus membeli sepatu.
Pada suatu saat muncullah ide kratif kami ketika melihat mahkota
ontong(bunga) pisang yang berguguran jatuh di tanah kemudian kami ambil lalu kami jadikan
sepatu dan kami pakai untuk bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah
(MIM). Mahkota Ontong bunga pisang itu kami bentuk seperti layaknya sepatu dan
bagian atasnya diikat dengan tali yang berasal dari serat batang pisang (orang
desa kami menyebut gedebok pisang.
Tentu saja sepatu seperti ini tidak bisa bertahan lama paling hanya
bertahan beberapa hari saja, dengan pedenya kami pake sepatu buatan sendiri ini
untuk ke sekolah. Ketika sepatu ini aus dalam beberapa hari kamipun segera
membuat lagi. Tidaklah menjadi masalah jika kami secara terus menerus membuat
sepatu ontong pisang ini karena desa kami memang banyak pohon pisang tentunya
juga banyak ontong pisangnya.
Kini bila kami mengingat sepatu ontong pisang antik yang kadang kami bentuk seperti sepatu
aladin lalu kami pake untuk sekolah di sekolah dasar MIM desa kami dulu maka
kami kadang tertawa sendiri saat mengingatnya. Beruntung saja ketika tertawa sendiri tidak ada yang melihatnya. Coba
bila ada yang melihatnya pasti dianggap orang setengah gila….he..he..he….tetapi
akupun pernah bercerita kepada teman-teman sejawat saat ini bahwa dulu saat aku
bersekolah di desa terpencil sementara teman2 banyak yang telanjang kaki alias
nyeker dan sebagian bersepatu, aku biasa
pake sepatu dari mhkota ontong pisang yang kubikin sendiri….. Kawan-kawan ku
sejawat pun berkomentar : katrok betul kamu ! Dasar wong ndeso ….he…he…he…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar