November 1992
Buku harian ku, tertuliskan dengan rapi di buku harian yang bersampulkan biru, yang udah lusuh kutulis dengan tinta warna biru pula, ketika melahirkan nanda ku yang ke dua, yang penuh penantian.
jarak kelahiran dengan kakaknya sangan lama, dan di harap.
Buku harian ku, tertuliskan dengan rapi di buku harian yang bersampulkan biru, yang udah lusuh kutulis dengan tinta warna biru pula, ketika melahirkan nanda ku yang ke dua, yang penuh penantian.
jarak kelahiran dengan kakaknya sangan lama, dan di harap.
Bahagianya ketika melihat sosoknya hadir. Bidadariku, putri kedua ku. Kulitnya yang putih, matanya yang sipit, benar benar mirip denganku. Hampir saja aku melupakan betapa susahnya proses yang baru saja kulewati. Bertaruh nyawa,bahkan harus kehilangan hal yang paling penting dalam hidupkku, sakit sakit yang tadi seketika sirna sudah. Senyumnya menyembuhkanku. Anakku ini sangat berbeda dengan anak kepertamaku yang sangat mirip dengan ayahnya. Tidak percaya rasanya aku sudah bisa melewati 8 jam yang penuh perjuangan, sakit yang sangat ditambah sebelumnya dokter memvonis untuk melakukan oprasi sesar. Ntah apa jadinya, tapi untunglah Allah menganugrahkan laki laki seperkasa sosok yang tengah terlelap disebelahku ini. Kalau bukan karena sosoknya mungkin aku sudah bergelut indah dengan lampu lampu oprasi yang menyilaukan mata itu. Yah,, dialah laki laki istimewaku, bahkan ketika takdir memaksa anakku ini lahir lebih cepat dari normalnya dia yang pertama jadi orang yang menenangkan tangisku padahal aku tau dia lebih takut dibandingkan ekspresi mukanya. Makasih suamiku.
Masih teringat 8 jam yang lalu, ketika dokter menawarkan surat persetujuan oprasi cesar kepada suami ku tiba tiba ia meminta izin untuk pergi sebentar. kemana dia? kini baru kutau dari ceritanya bahwa dia meminta waktu setengah jam untuk sekedar sujud, meminta pada Allah untuk memudahkan proses kelahiran ini, dan bayangkan dalam waktu singkat Allah mengabulkannya. Sesaat ketika sosok suamiku tidak ada, rahim aku berkontraksi hebat, anakku ini tau saja jika dimasjid ayahnya tengah membicarakan dan memohon pada Allah untuknya, tanpa banyak tindakan lagi dokter mengambil keputusan untuk melahirkan ku secara normal dan sudah tidak memperdulikan lagi surat persetujuan oprasi yang barusan saja akan ditandatangani suamiku. Masya Allah. dia menceritakan ini panjang lebar sebelum akhirnya ia terlelap. Makasih suamiku.
Lagi lagi aku hanya bisa memandangi sosok mereka bertiga dari kejauhan. Ayah, bunga, dan satu lagi keluarga baru kami. Bunga memeluk adik kecilnya dan ayah memeluk bunga, pemandangan yang menyejukkan. Ingin rasanya berkumpul memeluk mereka, mencium mereka. Allah.. terima kasih untuk kebahagian ini, awalnya aku sempat merasakan engkau begitu tak adil ketika kau harus mengambil pendengaranku ini tapi kini aku sadar, Kau baru saja mengganti pendengaranku dengan 2 telinga yang akan membantuku mendengar hingga masa tuaku, dua telinga yang akan membantu ku untuk mendengar kehidupan kehidupan kedepannya. Aku yakin Kau punya cerita cantik disini secantik bidadari yang Kau anugrahkan diantara kami. Aku akan mencoba ikhlas Rabbi, setelah melahirkan ini tak aka lagi terdengar nada nada dan suara indah bidadari bidadariku, tak akan lagi aku mendengarkan suara merdu suamiku membacakan ayat ayatMu. Bismillah, aku yakin aku mampu untuk lebih kuat lagi. Dengan 6 telinga yang akan membantuku untuk mendengar setiap nada disisa kehidupanku kini dan nanti.
Baru saja suamiku terbangun, berjalan kearahku, mengecup keningku, menyebutkan satu demi satu kata kata yang paling mesra dalam hidupku dengan perlahan lahan agar aku memahami maksudnya bahkan tak jarang ia mengulangnya ketika dahiku mulai berkerut. “bunda sholihah, kita kasih nama bidadari kita ini pembuka pintu syurga yah. Biar nanti dia yang akan membukakan surga itu. Untuk kita berdua. Tidur yuk bun”.
33333
"coretan si nanda ketika mendapatkan sebuah buku agenda bundanya...".
"coretan si nanda ketika mendapatkan sebuah buku agenda bundanya...".
“cha!” suara bunda mulai lebih keras dari sebelumnya, dan kini lebih mengejutkanku.
“hem”
“kalo dipanggil bunda itu mbok yo dateng, jangan cuman nyaut toh”
“ya mbok yo bunda itu biasa aja gitu loh “ aku mengikuti nada bicara bunda yang meminta pengharapan.
“itu, nasi gorengnya dimakan, nanti dingin. Dihabisin. Itu ada teh diatas meja. Sebelahnya itu susu nya mbak bunga jangan dikasih garam lagi kayak kemaren, awas kamu ya iseng pagi pagi” bunda mulai mewanti wanti ku lagi dengan kalimat dan pernyataan yang sama tiap pagi, sampai hafal, dan dengan santainya aku menghabiskan tehnya dan membubuhi setengah sendok susu mbak bunga dengan garam. Persis seperti apa yang tadi dilarang bunda. Bunda tiap pagi selalu akan menyiapkan diatas meja dua gelas minuman, satunya susu dan satunya teeh manis. Aku sejak kecil memang tidak pernah menyukai susu, apapun rasanya. Seperti bunda, bunda juga tidak munyukainya. Menurut kami susu itu rasanya amis. Ya gitulah, tidak nikmat dan tidak enak lah pokoknya. Sedang mbak bunga sangat mencintai minuman ini, persis seperti ayah, mereka adalah penikmat berbagai macam susu, apapun rasanya, dan apapun bentuknya. Hehehe.
“bun, aku berangkat!” aku teriak dari luar. Dan seperti biasa, baru saja aku selesai memasang tali sepatu dari arah rumah terdengar teriaka mbak bunga. “Bun, susunya asin!”
Aku segera menjauh dari rumah, kutoleh sejenak, disana sosok bunda tergopoh gopoh berlari dengan jilbabnya yang miring sana sini dan baju daster panjangnya yang sudah banyak warna warna tambahan dari kunyit, dan bumbu dapur lainnya. Wajahnya menyiratkan kemarahan, aku tetap berlari, dan menjulurkan lidah kebunda. Berteriak sekali lagi “bun, aku berangkat. Da.. daaa. Maap yee. Aku naik bus kesekolah, mbak bunga aja yang diantar ayah.” Kutinggal bunda yang ku tau pasti ia begitu jengkel dengan kelakuan isengku tiap pagi. Maaf ya bunda.
333333
Dalam perjalanan menuju arah SMA tercintaku, aku jadi banyak melamun sendiri. Akhir akhir ini aku sering terbayang bunda. Sikapnya yang kolot bahkan kadang terkesan norak, tidak tau zaman remaja sekarang, membatasi pertemananku, tidak boleh berpacara dengan lawan jenis ( ya iyalah, masa sesama jenis) membatasi pergaulanku, katanya sih boleh berteman dengan siapa saja tapi kalo aku izin untuk nge”hedon” ke-mall dilarang, kalo mau nonton bunda harus tau aku sedang nonton film apa, dengan siapa, semalam berbuat apa (mendadak nyanyi. Loh). hem.. ntah sudah berapa kali aku membohongimu bunda, kau sosok wanita paling polos dalam hidupku. Tapi, bunda itu baik banget! Ia tetap wanita yang paling aku cintai seantero jagad raya ini. Tidak ada wanita yang lebih baik dari bunda. Bunda itu super mom.
Aku menarik nafas panjang. Ada satu hal yang membuatku sedikit tidak sreg. Aku sendiri bingung, apakah hal yang membuatku tidak sreg ini merupakan kekurangan atau kelebihan bunda.
Beberapa waktu lalu, ketika aku hendak pergi ke calon kampus untuk mendaftar, bunda memaksa untuk ikut. Aku enggan mengajaknya, aku sibuk mencari alasan untuk tidak mengajaknya. Mengarang ngarang cerita agar ia mengurungkan niatnya untuk ikut. Yes! Berhasil. Yah, walau kuakui dari wajah bunda menyiratkan kekecewaan. Tapi tak apalah, pasti bunda sadar maksudku. Duh, apa kata teman teman nanti? Gimana komentar mereka? Dan apa juga kata orang-orang dicalon kampusku nanti melihat aku memiliki bunda seperti ini.
Sambil memeriksa amplop coklat yang berisi berkas berkas untuk aku mendaftar kampus bunda berpesan kepadaku “jangan lupa amplopnya dibawa. Di chek isinya nduk, udah semua belum. Sama foto 3x4nya dibawa. “
Aku hanya melirik bunda saat itu.
“biasa aja sih bun, aku juga tau. Gak usah digituin juga tau” kataku cemberut.
Saat itu bunda diam saja. Keluar kamar dan mempersiapkan sepatu yang akan aku gunakan, dilap, disemir. Hem.. bunda pikir sepatu aku itu butuh disemir apa. Itu mah sepatu gaul. Gak butuh disemir.
Huh!
Bunda memang over perhatian. Bunda selalu memperlakukanku seperti anak SD. Aku sudah gede bunda, sudah dewasa. November kemarin usiaku sudah 16 tahun. Masih saja diperlakukan seperti anak 5 tahun.
Bunda selalu begitu. Coba mana ada sih ibu yang mengurusi anak yang berusia enam belas tahun, sampai segitu amat! Ya, cuman bunda itulah! Sunggu, aku tahu kalau bunda itu sayang banget sama aku, tapi caranya, loh. Enggak banget!
Bus yang kunaiki dari tadi baru sampai disitu situ aja. Biasaaa... macet. Entah, mungkin gara gara siKomo atau mungkin juga keluarganya “Si Komo” baru lewat. Macet lagi. Kulirik seorang wanita yang duduk disebelahku. Tampaknya sebaya dengan bunda. Tapi, ah terlalu gemerlap. Sedangkan bundaku itu bunda yang sederhana dan bersahaja. Kulihat lagi dengan sembunyi sembunyi ibu itu. Eh, nggak taunya ia sadar sedang diperlihatkan. Ia ganti memandangku. Penuh curiga, dan tatapannya malah membuatku miris. Ia menggeser duduknya menjauhiku. Huuh. Dia pikir aku mau merampoknya apa. Aku mah wanita baik baik bu, gumamku.
Tanpa sadar aku membandingkan wanita tadi dengan bunda. Oh ya, satu lagi bunda itu super ramah dengan orang. Dan.. ya, baru kuingat super perhatian juga bagi para muslimah, para jilbaber teman teman mbakku. Sampai pernah ada teman mbakku seorang jilbaber yang hijrah gara gara disiksa sama orang tuanya. Eh, bunda yang marah. Malah bunda mau nyamperin tuhorang tuanya segala. Akhirnya bunda rela kalau temennya mbak-ku itu tinggal dirumah kami. Dan bunda perhatian sama dia pake banget!
Bunda.. bundaa. Sebenarnya aku ingin sekali jujur dengannya, bilang bahwa aku malu jika ia muncul didepan teman teman ku. Aku malu jika teman temanku tahu ibuku tidak bisa mendengar. Ibuku tidak seperti ibu ibu mereka. Tapi aku takut jika wanita yang paling halus perasaannya itu tersinggung. Aku takut hal itu menyakitinya, dan aku tak ingin itu terjadi. Pernah aku utaraka ini ke ayah. Ayah hanya tersenyum dan membelai rambutku perlahan dan berkata “ andai kamu tau nduk, kenapa bunda begitu” . huff. Tidak menyelesaikan masalah.
“pahlawan, pahlawan,pahlawan!”
Suara kenek angkot membuyarkan lamunanku. Aku segera turun dari angkot dan berjalan kira kira 100 meter untuk masuk kesekolahku.
3333333
Percakapan dengan ayahnya ...
”kamu harusnya bersyukur kepada Allah cha, memiliki ibu seperti bundamu. Lihatlah, bundamu itu ibu yang paling ramah dari ibu ibu yang aku kenal, bundamu itu tidak seperti orang yang memiliki kekurangan. Aku saja ketika pertama kali mengenal ibumu benar benar tidak menyangka bahwa ibumu itu tidak bisa mendengar. Ibumu bisa melakukan yang ibu ibu lain tidak bisa lakukan. Ibumu pandai memasak, bisa menjahit baju, bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri tanpa pembantu dengan anak senakal kamu” ela, sahabatku. “ cha, aku slalu ingin merasakan kasih sayang ibu, ingin punya ibu yang bisa menjahitkan baju. Ibuku bisa mendengar, tapi ia malah sibuk mendengarkan orang lain. Ia malah sibuk bekerja. Tidak sama skali mendengarkanku memperhatikaku.”
“ tapi la,,,”
“kamu akan tau rasanya cha, kamu akan menyadari betapa bahagianya memiliki ibu seperti bundamu. Percayalah.” Ela memotong pembicaraanku kemudian pergi.
Aku menarik nafas panjang.
33333
November 2009
Bunda sakit. Kata ayah jantung bunda sakit. Aku tidak tahu pastinya seperti apa sakit bunda. Hari ini aku kembali merenungkan semua perkataan ela. Hari ini tepat aku berumur 17 tahun, sweet seventen dan di Hari ini juga tak kudengar lagi teguran, saran-saran, petuah petuah bunda. Bundaterbaring ditempat tidur RS. Ia terlihat lemah.
Hari ini aku bisa melakukan apa saja. Memilih apa saja tidak ada yang akan sibuk mencerewetiku, tapi jauh dilubuk hati aku merasakan ada kehampaan, ada kekosongan. Seminggu ini rumah kami terasa begitu sepi tak ada lagi yang sibuk berteriak, berceloteh dan memarahiku. Hari ini aku rindu dengan bunda, iseng iseng aku pergi kekamar bunda, melihat lihat kamar bunda, mencium bantal yang biasa bunda gunakan untuk tidur, melihat lihat daster daster andalan yang biasa bunda kenakan dirumah. Bun, daku rindu. Sesaat kulihat ada sebuah buku terselip diantara baju baju bunda, segera kuraih buku itu. Buku tebal berwarna coklat dengan tulisan “agenda” dipojok atasnya. Kubuka perlahan. “ini diary bunda” gumamku. Kubaca tiap lembaran kertas. Ternyata ini diary bunda dari jaman dulu, jaman saat saat baru menikah dengan ayah. Aku tersenyum senyum membaca tiap lembar cerita ayah dan bunda, romantis. Tapi aku cukup tercekat ketika membaca disalah satu lembar yang dipojok kiri atas tertulis “november”.
” Bahagianya ketika melihat sosoknya hadir. Bidadariku, putri kedua ku. Kulitnya yang putih, matanya yang sipit, benar benar mirip denganku. Hampir saja aku melupakan betapa susahnya proses yang baru saja kulewati. Bertaruh nyawa,bahkan harus kehilangan hal yang paling penting dalam hidupkku, sakit sakit yang tadi seketika sirna sudah. Senyumnya menyembuhkanku. Anakku ini sangat berbeda dengan anak kepertamaku yang sangat mirip dengan ayahnya. Tidak percaya rasanya aku sudah bisa melewati 8 jam yang penuh perjuangan, sakit yang sangat ditambah sebelumnya dokter memvonis untuk melakukan oprasi sesar. Ntah apa jadinya, tapi untunglah Allah menganugrahkan laki laki seperkasa sosok yang tengah terlelap disebelahku ini. Kalau bukan karena sosoknya mungkin aku sudah bergelut indah dengan lampu lampu oprasi yang menyilaukan mata itu. Yah,, dialah laki laki istimewaku, bahkan ketika takdir memaksa anakku ini lahir lebih cepat dari normalnya dia yang pertama jadi orang yang menenangkan tangisku padahal aku tau dia lebih takut dibandingkan ekspresi mukanya. Makasih suamiku.
Masih teringat 8 jam yang lalu, ketika dokter menawarkan surat persetujuan oprasi cesar kepada suami ku tiba tiba ia meminta izin untuk pergi sebentar. kemana dia? kini baru kutau dari ceritanya bahwa dia meminta waktu setengah jam untuk sekedar sujud, meminta pada Allah untuk memudahkan proses kelahiran ini, dan bayangkan dalam waktu singkat Allah mengabulkannya. Sesaat ketika sosok suamiku tidak ada, rahim aku berkontraksi hebat, anakku ini tau saja jika dimasjid ayahnya tengah membicarakan dan memohon pada Allah untuknya, tanpa banyak tindakan lagi dokter mengambil keputusan untuk melahirkan ku secara normal dan sudah tidak memperdulikan lagi surat persetujuan oprasi yang barusan saja akan ditandatangani suamiku. Masya Allah. dia menceritakan ini panjang lebar sebelum akhirnya ia terlelap. Makasih suamiku.
Lagi lagi aku hanya bisa memandangi sosok mereka bertiga dari kejauhan. Ayah, bunga, dan satu lagi keluarga baru kami. Bunga memeluk adik kecilnya dan ayah memeluk bunga, pemandangan yang menyejukkan. Ingin rasanya berkumpul memeluk mereka, mencium mereka. Allah.. terima kasih untuk kebahagian ini, awalnya aku sempat merasakan engkau begitu tak adil ketika kau harus mengambil pendengaranku ini tapi kini aku sadar, Kau baru saja mengganti pendengaranku dengan 2 telinga yang akan membantuku mendengar hingga masa tuaku, dua telinga yang akan membantu ku untuk mendengar kehidupan kehidupan kedepannya. Aku yakin Kau punya cerita cantik disini secantik bidadari yang Kau anugrahkan diantara kami. Aku akan mencoba ikhlas Rabbi, setelah melahirkan ini tak aka lagi terdengar nada nada dan suara indah bidadari bidadariku, tak akan lagi aku mendengarkan suara merdu suamiku membacakan ayat ayatMu. Bismillah, aku yakin aku mampu untuk lebih kuat lagi. Dengan 6 telinga yang akan membantuku untuk mendengar setiap nada disisa kehidupanku kini dan nanti.
Baru saja suamiku terbangun, berjalan kearahku, mengecup keningku, menyebutkan satu demi satu kata kata yang paling mesra dalam hidupku dengan perlahan lahan agar aku memahami maksudnya bahkan tak jarang ia mengulangnya ketika dahiku mulai berkerut. “bunda sholihah, kita kasih nama bidadari kita ini pembuka pintu syurga yah. Biar nanti dia yang akan membukakan surga itu. Untuk kita berdua. Tidur yuk bun”. Kamu.. MAFTUHATUL JANNAH pembuka surganya kami nak.“
Aku tak sanggup lagi berkata apapun. Bulan ini tepat 17 tahun bunda tidak mampu mendengar. Dan itu karena aku. Lalu untuk apa selama ini aku malu, sedih, ketika semua teman temanku mengenalmu, ketika harus bersamamu pergi. Mengapa aku harus malu. Sedangkan kau rela kehilangan pendengaranmu demi aku bunda, demi sosok macam aku ini. Air mata ini tidak hentinya berhenti. Mengalir dengan derasnya. Anak macam apa aku ini bunda. Tiba tiba, aku begitu rindu sosokmu bunda, aku rindu!
333333
Senja ini ketika aku baru saja datang mengunjungi bunda di rumah sakit, pintu kamar RS tampak sedikit terbuka. Beliau sedang shalat.
Kuhampiri, tampaknya bunda sedang asyik bermunajat kepada Allah. beliau kelihatan sudah membaik. Alhamdulillah, aku lega, kesehatan beliau memulih. Setelah bunda mengusap wajahnya dan mengucap amin, kuucapkan tangan, kucium tangan beliau.
“waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh” Sambut bunda sambil tersenyum.
Aku segera memeluk bunda.
“eh ada apa ini, ayo mau minta apa nih dari bunda! Mentang mentang bunda sudah sehat” bunda tertawa.
“idih, bunda suudhon”
“kamu belum mandi ya sayang, innalilahi kucel banget, kurus lagi, pasti selama dirumah jarang makan, kok baru sekarang ketempat bunda...”
Bunda terus saja mengoceh panjang lebar, ku peluk ia begitu erat, tak kupedulikan lagi perhatiannya, celotehnya, yang dulu selalu membuatku kesal. Tak ada gundah, tak ada kesal saat ini, aku menyayanginya Rabbi. Aku berjanji untuk memberikan dua telingaku ini, untuk menjadi pendengarannya mulai kini dan nanti, aku janji Rabbi. Aku janji. Jaga bundaku ini Rabbi, super womanku, segalanya buatku.
Terima kasih Allah untuk bunda yang seperti ini.
"Selamat ulang tahun sayang.." Bisiknya, lirih.
“Bila suatu hari nanti engkau sudah tak berdaya dan tak mampu lagi membersih diri, doakan aku dan ijinkan aku untuk kuat mengasuhmu, seperti mana engkau mengasihi aku ketika aku kecil dahulu.. Bila suatu hari tubuhmu mulai membungkuk lemah tak berdaya, doakan aku untuk tidak menjadi lupa dan tidak mendurhaka, doakan aku berpanjang umur agar aku terus dapat menjaga dan mengasihimu hingga akhir hayatmu.
Bunda, aku mencintaimu. Bahkan ketika aku tidak berbahagia dengan hidupku. engkaulah yang tetap bahagia hanya karena aku ada.”
Selamat Hari ibu
Mak Titik...hiks...kisah yang sungguh mengharukan...subhanallah
BalasHapusitu ananda saya yang ke dua menemukan secarik buku harian saya bu...hiks ternyata di kirim buat saya pas hari ibu...subhanallah
HapusEh sebenarnya yang nulis siapa? Arina atau Titik?
BalasHapusdua tulisan yang tergabung...afwan
BalasHapus